Foto : 80 Tahun Indonesia Merdeka, Kecamatan Inamosol Terlupakan, Berjuang Melawan Keterpurukan, Mengecap Janji yang Tak Kunjung Tiba
Inamosol, Globaltimurnn.com - Kecamatan Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, Di sebuah sudut Maluku yang seolah terpelanting dari peta pembangunan Indonesia, seorang Nenek Merry Ruspanah harus menahan tangis karena 1 ton buah cokelat harus membusuk tak terurus, Ratusan tandan pisang kami buang untuk sapi, Di Ambon, pisang ini bisa dijual Rp 100.000/tandan. Di sini? Nol rupiah, karena tak ada yang bisa mengangkut.
Ini bukan cerita dari tahun 1945, ketika Indonesia baru merdeka dan infrastruktur masih porak-poranda, Ini kisah nyata di tahun 2025, di usia ke-80 kemerdekaan Republik ini, Di Kecamatan Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku, jalan berlumpur dan jembatan kayu yang nyaris rubuh masih menjadi "penjara" yang membelenggu 10.000 jiwa penduduk di 11 desa terus menangis melihat Negara merayakan 80 tahun kemerdekaan dengan tawa ruang dan kenikmatan.
Di Mana Keadilan untuk Inamosol? Saat ibu kota dan kota-kota besar di Jawa berlomba membangun jalan tol, MRT, dan bandara megah, warga Inamosol masih berperang setiap hari dengan 135 kilometer jalan tanah berbatu yang berubah menjadi kubangan lumpur di musim hujan, Tujuh jembatan kayu yang sudah reyot menjadi "jembatan maut" yang kerap memakan korban.
Kami seperti hidup di negeri lain. Di usia Indonesia 80 tahun, kami masih berjuang seperti di zaman penjajahan," geram Gerard Wakanno, Ketua Forum Peduli Pembangunan Inamosol, sambil menunjukkan dokumen proposal permohonan perbaikan infrastruktur yang telah diajukan ke pemerintah kabupaten dan provinsi sejak awal tahun 2025,Proposal itu berdebu, Tak ada respons sampai saat ini.
Darah dan Air Mata di Jalan Logging Peninggalan Orde Baru Jalan utama di Inamosol sebenarnya bukanlah jalan desa, melainkan bekas jalan logging (penebangan kayu) era 1980-an yang dibangun PT Djayanti Group, Perusahaan itu telah lama pergi, meninggalkan jalan rusak yang menjadi satu-satunya urat nadi warga.
Pada 2018, Pemerintah Kabupaten SBB menganggarkan pembangunan jalan dan jembatan, Tapi proyek itu mangkrak di tengah jalan diduga karena kasus korupsi, Kini, yang tersisa hanyalah jalan berbatu yang dipenuhi lubang menganga.
Petrus Tibalia, petani keladi di Desa Rumberu, menceritakan bagaimana 250 karung hasil panennya terpaksa dibuang untuk makanan sapi karena truk pengangkut tidak bisa masuk, "Keladi ini bisa jadi keripik berkwalitas tinggi. Tapi di sini, kami hanya bisa menangis melihatnya membusuk," ujarnya.
Valentino Akollo (24) adalah salah satu korban keganasan jalan Inamosol. Ia terpaksa putus sekolah karena orang tuanya tidak sanggup membiayai ongkos transportasi, "Saya dulu juara matematika, Tapi di sini, mimpi itu terlalu mahal," katanya lirih.
Guru-guru honorer seperti Ameli Latue juga hidup dalam kepahitan, "Gaji saya sebulan Habis untuk ongkos transportasi. Saya mengajar dengan perut kosong," ujarnya.
Mengapa Pemerintah Tutup Mata? Padahal, UU No. 38/2004 tentang Jalan dengan tegas menyatakan bahwa penyediaan infrastruktur jalan adalah kewajiban negara. RPJMN 2024 juga menekankan percepatan pembangunan daerah tertinggal.
Tapi di Inamosol, hanya ada janji-janji kosong. Setiap pemilu, calon legislatif dan kepala daerah berkoar tentang "pembangunan jalan". Tapi begitu terpilih, Inamosol kembali dilupakan.
"Kami sudah muak jadi komoditas politik. Kami hanya ingin jalan yang layak, bukan basa-basi pejabat," protes Robinson Niak, tukang ojek yang kerap mengevakuasi korban kecelakaan di jalan rusak.
Mereka Bukan Pemalas, Mereka Pejuang yang Terlupakan Yang membuat hati semakin miris. warga Inamosol bukan masyarakat pasif, Selama 30 tahun terakhir, mereka bergotong royong memperbaiki jalan dan membangun jembatan kayu darurat setiap musim hujan.
Pemuda di Desa Hukuanakota dan Rumberu bahkan rela memikul orang sakit sejauh 20 kilometer jika ambulans tidak bisa masuk.
"Kami bukan pengemis. Kami warga negara yang membayar pajak, Kami hanya minta hak kami jalan yang layak, tegas Niksen Niak, Sekretaris Desa Rumberu.
Di usia ke-80 kemerdekaan, Indonesia kerap membanggakan diri sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Tapi apa artinya semua itu jika di Maluku, masih ada anak-anak yang terkubur mimpinya karena jalan berlumpur?
Proposal masyarakat Inamosol sudah ada di meja pemerintah. Sekarang, tinggal political will (kemauan politik) yang menentukan:
- Akankah Inamosol tetap menjadi "lubang hitam" pembangunan?
- Atau pemerintah akhirnya bergerak, mengubah jalan tanah menjadi aspal, dan mengubah air mata warga menjadi senyuman?
Laporan khusus ini ditulis berdasarkan investigasi lapangan dan wawancara dengan puluhan warga Inamosol, Jika pemerintah peduli, kami siap mendampingi proses verifikasi. (Rdks)