
Foto : Membakar Lumbung Korupsi Yang Menjebak Pejabat di Maluku, Sekertaris Hena Hetu SBB Angkat Bicara
Ambon, Globaltimurnn.com - Menanggapi fenomena banyaknya kasus korupsi di Maluku teristimewa di SBB, namun kenyataan di lapangan yang di dakwa korupsi tidak menikmati hasil korupsi tersebut.
Korupsi = Pencuri = Perampok = Begal, Itulah kata yang langsung menghantam isi kepala kita dengan berbagai nuansa buruk dan negatif. Tegas pernyataan Sekertaris Hena Hetu Kabupaten SBB Verry. V. Jacob/Suitela. S. Sos kepada sejumlah awak media di ambon
Katanya" Namun, benarkah kita sudah melihat masalah ini dari akarnya? Atau kita hanya terjebak dalam drama menangkap tikus sambil membiarkan lumbungnya lapuk dan penuh lubang? Tanya-nya
Menurut beta (saya) fakta yang terungkap di Setda Kab.SBB hanyalah puncak dari gunung es bernama Sistem Pemerintahan yang Amburadul.
Sebuah sistem yang tidak hanya melahirkan koruptor, tetapi lebih kejam lagi, menjadikan pejabat yang bersih sebagai tumbal dan kambing hitam.
Setiap pejabat di daerah, termasuk di SBB, menghadapi sebuah dilema yang tak tercatat dalam buku anggaran yaitu Biaya Siluman, Tamu Daerah dan Rombongan Plus-plus, Seorang gubernur atau Bupati menerima tamu penting dari pusat.
Tamu itu membawa keluarga, asisten, dan rombongan yang tak terduga, Apa yang terjadi? Pejabat daerah dipaksa menjadi tuan rumah sempurna, Penginapan mewah, jamuan makan minum, dan cinderamata harus disediakan, Anggarannya dari mana? Tidak ada pos menghibur tamu dan keluarganya dalam APBD.
Dana ini seringkali harus dicari dari kantong-kantong lain, dengan cara yang tidak selalu transparan, karena tuntutan protokol dan kehormatan daerah jauh lebih kuat daripada aturan keuangan.
Dirinya katakan" Organisasi Ormas mendatangi kantor pemerintahan, meminta sumbangan untuk kegiatan, Jika ditolak, ancamannya jelas demo, pengrusakan, stabilitas terganggu, Begitu pula dengan permintaan sumbangan untuk kegiatan keagamaan atau adat yang bersifat massal, Pejabat terjepit mematuhi aturan anggaran berarti menciptakan konflik sosial, mengiyakan berarti melanggar hukum.
Pilihan yang ada adalah dua-duanya salah, Yang sering terjadi, pejabat memilih jalan damai dengan mengeluarkan dana, yang lagi-lagi, sumbernya harus diakali.
Beberapa desa di pegunungan pulau Seram seperti" Rumberu, Rambatu, Manusa, Hukuanakota, Abio, Ahiolo, Rumahtita, Imabatai, Honitetu. Harus dilalui diatas jalan NERAKA karena, bila menggunakan transportasi ojek sekali jalan 250.000 - 300.000 rupiah, bila menggunakan kendaraan motor pribadi setiap dua hari harus masuk bengkel, perbaikan dan ganti onderdil motor hampir setiap minggu, apabila dana ini dimasukan kedalam anggaran desa apakah akan diterima oleh akal sehat oleh team auditor keuangan? Apakah ada kwitansi untuk dana tukang ojek?
Berikut ini adalah Sebuah Praktik Mematikan yaitu Perintah Lisan dan Bawahan sebagai Tumbal, Inilah lingkaran setan paling jahat dalam birokrasi kita, Seorang pejabat berkuasa (Kepala Desa, Camat, Bupati,dll) membutuhkan dana untuk keperluan pribadi atau politiknya, Dia tidak akan pernah meninggalkan jejak!!!
Dia memanggil bawahannya, sang Pejabat Pembuat Komitmen atau bendahara, dan memberi perintah lisan" Siapkan dana sekian, untuk keperluan mendesak".
Bawahannya terpojok, Menolak? Itu bisa berarti akhir dari karirnya, bahkan ancaman bagi keselamatannya, Menuruti? Dia tahu ini melanggar aturan, karena tidak ada kwitansi, tidak ada bukti transfer, tidak ada Perintah Pembayaran yang sah.
Ketika audit BPK datang, seperti yang terjadi di Setda SBB yang muncul ke permukaan adalah nama si bawahan, Dialah yang memegang dana, dialah yang tandatangan, dialah yang tidak bisa mempertanggungjawabkan pengeluaran, Sementara sang pejabat pemberi perintah, dengan mudahnya bersembunyi di balik ketiadaan bukti dan berkata, Saya tidak tahu, itu inisiatif bawahannya.
Inilah yang kita sebut sebagai Korupsi Terpaksa atau Korupsi Sistemik, Pejabat yang sebenarnya hanya menjalankan perintah untuk menyelamatkan situasi, akhirnya menjadi kambing hitam, Dia didakwa korupsi, sementara aktor intelektualnya bebas berkeliaran.
Maka, memberantas korupsi di Maluku, kususnya SBB dan di Indonesia pada umumnya, tidak bisa lagi hanya dengan menghukum para tikus tetapi harus memperbaiki lumbungnya.
Korupsi Rp16 miliar yang diperiksa BPK di Setda Maluku harus menjadi pintu masuk untuk membongkar seluruh sistem yang sakit, Jangan biarkan lagi pejabat yang hanya menjalankan tradisi korup menjadi tumbal.
Saatnya kita berani berkata Perbaiki Sistemnya, Baru Adili Orangnya, Hanya dengan cara ini, Maluku bisa benar-benar bersih dari korupsi yang telah menggerogoti kesejahteraan rakyatnya selama puluhan tahun. Tutupnya (V374)