
Foto : Hak Menentukan Nasib Sendiri Rakyat Papua: Menuntut Janji Sejara Yang Terlupakan
Wamena, Globaltimurnn.com - Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, Abner Holago, S.H. | Advokat HAM Papua.dalam rilisanya lewat Wapsap menjelaskan
Narasi dominan tentang integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seringkali mengaburkan memori kolektif orang Papua. Bagi kami, isu hak menentukan nasib sendiri (self-determination) bukan sekadar wacana politik atau hukum, melainkan tuntutan yang berakar dari sejarah yang kelam, ketidakadilan politik, pelanggaran hukum, dan penderitaan kemanusiaan yang tak berkesudahan. Perspektif orang Papua mengenai isu ini jauh berbeda dari narasi yang selama ini digemakan oleh pemerintah.
Waemena 15 Oktober 2025
Sejarah yang dipahami orang Papua dimulai dari masa ketika Belanda menjanjikan kemerdekaan, bukan integrasi dengan Indonesia. Belanda secara aktif mempersiapkan Papua untuk menjadi negara merdeka, seperti yang terbukti dari pembentukan Dewan Nieuw Guinea dan pengibaran bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 1961. Namun, semua itu dihancurkan oleh politik internasional yang didorong oleh kepentingan geopolitik, bukan hak asasi manusia.
Perjanjian New York 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 menjadi dua momen paling pahit dalam sejarah kami. Jika Indonesia merayakan integrasi, kami mengenangnya sebagai momen aneksasi yang tidak sah. Pepera 1969, yang seharusnya menjadi wadah penentuan nasib sendiri yang demokratis dengan metode one man one vote, malah dilaksanakan dengan intimidasi dan muslihat. Hanya 1.025 orang, yang dipilih secara tidak representatif, di bawah pengawasan militer Indonesia, yang “menyatakan” integrasi. Pepera bagi kami adalah pengkhianatan terhadap janji dekolonisasi yang bermartabat.ungkapnya
Secara politik, setiap upaya penyelesaian dari Jakarta selalu gagal mengatasi akar masalah. Otonomi Khusus (Otsus), yang digembar-gemborkan sebagai solusi, dianggap sebagai upaya meredam aspirasi politik dan menyingkirkan isu hak menentukan nasib sendiri. Setelah lebih dari dua dekade, Otsus tidak membawa kesejahteraan, tetapi justru menimbulkan masalah baru: korupsi dana yang merajalela dan diskriminasi struktural.
Otsus gagal mengangkat derajat orang asli Papua (OAP), yang kini terdesak oleh arus migrasi non-Papua, membuat kami menjadi minoritas di tanah sendiri. Pendekatan pembangunan yang dilakukan Jakarta mengabaikan kearifan lokal dan sistem sosial-budaya kami, memaksa kami untuk beradaptasi dengan sistem yang asing. Sementara itu, narasi yang dibangun Jakarta selalu membingkai aspirasi kemerdekaan sebagai gerakan separatis atau kejahatan, alih-alih mengakui bahwa itu adalah suara sah yang lahir dari ketidakpuasan historis dan politik.
Kata Abner "Secara hukum, orang Papua mempertanyakan legitimasi Pepera 1969 di mata hukum internasional. Walaupun hasil Pepera disahkan oleh PBB, banyak pihak berpendapat prosesnya cacat hukum dan melanggar prinsip penentuan nasib sendiri yang berlaku universal. Namun, gugatan untuk mengoreksi ketidakadilan historis ini selalu mentok di tingkat nasional, seperti yang dicatat oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai mengabaikan rasa keadilan rakyat Papua.
Di ranah internasional, kami melihat adanya pengabaian terhadap pelanggaran HAM dan aspirasi kami. Walaupun hak menentukan nasib sendiri dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia, kenyataannya hak ini tidak pernah benar-benar diterapkan. Kami menghadapi situasi hukum yang tumpang tindih: secara internasional hak kami diakui, tetapi secara nasional diabaikan.
Dari perspektif HAM, Papua adalah "ladang pelanggaran HAM". Catatan buruk itu dimulai dari kekerasan militer di masa lalu hingga kekerasan struktural yang terjadi hari ini. Penempatan militer yang masif, pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan intimidasi adalah realitas yang terus menghantui kami.
Selain kekerasan fisik, kami juga mengalami pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. Perampasan tanah adat untuk proyek-proyek pembangunan dan eksploitasi su. (Adrian)